22 Feb 07 06:05 WIB
Berjuang Mengemban Amanah
Menyambut Peluncuran Biografi Tuan Guru H. Sulaiman Tarigan 1887-1961)
WASPADA Online
Ada tanggal 24 Februari 2007, Yayasan Sirajul Huda sebuah lembaga yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial di Tanah Karo akan menyelenggarakan sebuah acara yang sangat penting dan bersejarah; Peluncuran Biografi Tuan Guru H. Sulaiman Tarigan : Menyemai Islam di Tanah Karo Melalui Dakwah Kultural yang diikut dengan Dialog Dakwah Islam di Tanah Karo, Dulu, Kini dan Akan Datang.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mengenang 100 tahun masuk dan berkembangnya Islam di Tanah Karo. Angka 100 tahun itu sendiri diperoleh dengan asumsi Islam masuk ke Karo dan dianut menjadi sebuah agama bagi masyarakat Karo sejak tahun 1990. Hal ini ditandai dengan masuk Islamnya Sibayak Juan Tarigan dan keluarganya di Kuala dan selanjutnya menetap di Tiga Beringin.
Namun harus dicatat, angka 100 tahun diposisikan sebagai idiom agar lebih mudah diingat. Artinya, tanpa disadari Islam di Karo telah berusia 100 tahun lebih. Diharapkan muncul pertanyaan dibenak kita masing-masing, Bagaimana keberadaan Islam saat ini di Karo dan ke arah mana Islam akan berkembang? diharapkan dengan pertanyaan seperti ini, kita lebih memperhatikan perkembangan Islam di Tanah Karo si malem tersebut.
Diharapkan lewat kegiatan ini kita dapat mengenal lebih dekat sosok ulama yang menghabiskan usianya pada jalan dakwah. Kita bisa belajar dari metode dan pendekatan dalam dakwah. Namun lebih dari itu semua, kita dapat belajar tentang kearifan-kearifan local untuk kehidupan masa depan yang lebih baik, beradab dan bermartabat. Artikel ini sebenarnya ditulis dalam rangka menyambut kegiatan tersebut dan menyingkap pesan besar yang dikandungnya.
100 Tahun
Tidak bisa dipastikan kapan sebenarnya agama Islam masuk ke tanah Karo. Setidaknya ada tiga teori besar yang dapat dirujuk; Pertama, teori Barus, kedua teori Aceh dan teori perbatasan. Menurut Dada Meuraxa, Islam masuk ke Karo di bawa oleh pedagang kemenyan dari Barus. Bahkan, asal kata Karo itu sendiri dipengaruhi oleh bahasa Arab "qarau" yang artinya membaca. Jalur perjalanan antara Barus dengan Karo, yaitu Tapanuli Utara, Simalungun dan Dairi sampai sekarang masih dijumpai petani kemenyan. Alasan lain yang dikemukakan adalah, ada kesamaan dalam hal pengobatan tradisional, baik dalam ramuan maupun dalam ritual yang dimulai dengan membaca bismillahirrahmanirrahim dan diakhiri "qabol berkat la ilaha illa Allah".
Pengaruh Islam juga sangat kental jika dilihat pada rumah adat Karo yang selalu menghadap kiblat dan biasanya dalam upacara adat, laki-laki diharuskan memakai kain sarung dan peci, sedangkan perempuan menutup kepala dengan tudung khusus. Teori kedua menyebutkan bahwa Islam masuk ke Tanah Karo di bawa oleh penda'wah dari Aceh Tengah. Namun da'wah tersebut dikatakan kurang berhasil dengan baik. Masri Singarimbun dalam karyanya yang berjudul, Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak, ada menuliskan "Pengembang Islam di Tanah Karo datang dari Aceh, tapi kurang memperoleh hasil. Salah seorang pengembang yang berasal dari Aceh bernama Tengku Syech Lau Bahun, justru dimusuhi sebagian penduduk, bahkan kemudian di bunuh. Makamnya terdapat di dekat Lingga, 5 KM dari Kabanjahe.
Data-data yang tersedia menunjukkan bahwa Islam mulai bergema di Tanah Karo sejak masuk Islamnya Sibayak Juan Tarigan dan keluarganya melalui Tengku Muda dari Aceh sekitar tahun 1900an. Selanjutnya Sulaiman Tarigan salah seorang putra Sibayak Juan Tarigan belajar kepada Teuku Mbelin di Kotacane. Sejak saat inilah Islam terus berkembang dan menjadi agama yang dianut oleh komunitas muslim di sekitar Singalor Lau. Teori ketiga seperti yang diperpegangi oleh M. Said, Islam masuk ke Karo disebabkan oleh pengaruh kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar perbatasan Karo yaitu kerajaan Haru Deli Tua, Kerajaan Haru Langkat, dan Kerajaan Haru Pane. Ketiga kerajaan ini pada abad XV ditaklukkan oleh kerajaan Islam Aceh, sebagaimana dikutip oleh Groonevelt dari catatan Cina " Yang Yai Sheng Lan" di tahun 1416 menyatakan bahwa raja Haru dan segenap rakyatnya sudah sebahagian masuk Islam. Penting untuk di catat, penduduk kerajaan Haru tersebut secara geneologi masih mempunyai hubungan dengan suku Karo yang bermukim di dataran Tinggi Karo. Ada kemungkinan, jalur kekeluargaan ini menjadi jalan yang sangat efektif menyebarkan Islam.
Ada yang menyebut bahwa sebelum tahun 1900 telah ada orang Karo yang memeluk Islam. Namun penulis sendiri melihat dari referensi yang ada tidak ada ditemukan satu namapun orang Karo yang memeluk Islam sebelum masa itu. Lebih dari itu, bagi penulis sendiri, pengertian Islam masuk bukan saja dalam makna Islam dipeluk. Tetapi maknanya lebih luas dari itu, Islam dipeluk oleh orang Karo. Berangkat dari indicator ini, penulis menemukannya keluarga Sibayak Juan Tarigan. Islam tidak saja dipeluk tetapi juga diamalkan dan didakwahkan. Di dalam biografi tersebut terlihat bagaimana Sulaiman Tarigan harus pulang pergi Tiga Beringin ke Kutacana untuk berdakwah. Artinya, setiap kali ia memperoleh ilmu dari Teuku Mbelin dan guru-guru lainnya, ia pun segera pulang dan mengajarkan kepada keluarganya.
Penulis sendiri, yang lebih menarik adalah kemampuannya dalam membentuk komunitas masyarakat Karo Muslim. Tegasnya apa yang disebut umat telah terbentuk pada masa itu. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, kerjasama dakwah di empat wilayah komunitas Muslim seperti Tiga Beringin (tempat asal), Keriahen Darat, Simpang Pergendangan dan Kuala Baru terjalin dengan cukup harmonis dan penuh persaudaraan. Sebuah persaudaraan yang tidak saja didasarkan pada hubungan adat dan geneologi, tetapi persaudaraan yang sudah dilandasi oleh tauhid.
Disamping itu, Tuan Guru H. Sulaiman Tarigan sebagai pengembang pertama Islam di Tanah Karo telah menunjukkan bagaimana semestinya Islam di kembangkan di dataran tinggi Karo tersebut. Ternyata disamping menggunakan pendekatan kekeluargaan dan ilmu kesaktian, keberhasilan dakwah Tuan Guru disebabkan kemampuannya dalam menggunakan adat dan tradisi sebagai media dakwah sepanjang tidak bertentangan dengan syari'at Islam.
Tidak dapat dilepaskan dari jasa-jasa Tuan Guru. Ditambah lagi ia menjadi kepala jawatan agama pertama (Kandepag) di Tanah Karo. Masalahnya sekarang adalah bagaimana masa depan Islam di Tanah Karo setelah memasuki usia yang ke 100 tahun? Metode Dakwah seperti apa yang relevan di Tanah Karo di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan dapat dijawab dalam dialog dakwah Islam tersebut?
Mudah-mudahan acara Peluncuran Biografi Tuan Guru H. Sulaiman Tarigan dan Dialog Dakwah Islam di Tanah Karo, Dulu, Kini dan Akan Datang, dapat menyadarkan kita bahwa saudara-saudara kita yang ada di Tanah Karo dan juga daerah minoritas muslim lainnya, sangat membutuhkan perhatian kita umat Islam pada umumnya. Syukur-syukur, lewat acara ini muncul gagasan baru dan segar untuk melakukan aksi-aksi yang lebih konkrit . Insya Allah.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Syari'ah dan Direktur Shafia Institut)
Wednesday, March 21, 2007
Tanah Karo Dan Islam
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »