Our Feeds
Internasional

Saturday, March 24, 2007

Tony

Sejarah Karo

 

Islam di Tanah Karo, Antara 1500-1600 M





Studi mengenai Islam di Tanah Karo adalah sebuah pembahasan yang sangat menarik. Apabila kita membaca sejarah perkembangan Islam di Aceh, maka nampaklah bahwa Islam telah menjadi agama sebagian penduduk di Tanah Karo, khususnya mereka yang mendiami wilayah yang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh saat itu, seperti Langkat, Medan dan daerah sekitar pegunungan Gayo dan Alas dan lain sebagainya.

Namun, bila diadakan pembahasan secara khusus tentang sejarah Islam di Tanah Karo maka banyak orang yang membuatnya bermula dari abad ke-18 M. Hal itu dapat dimaklumi karena orang-orang Karo yang menjadi subjek dalam Kerajaan Aceh, benar-benar terasimilasi kepada masyarakat kerajaan tersebut. Sehingga banyak orang yang terjebak dalam asumsi bahwa yang dinamakan Tanah Karo dan orang Karo adalah sisa masyarakat yang belum memeluk Islam di tempat terisolir.

Padahal, sejarawan bersikap plin-plan, saat membahas sejarah berdirinya kota Medan. Di sana di dapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa pendiri kota tersebut adalah orang Karo yang kebetulan Muslim bernama Guru Patimpus yang tahun pendiriannya adalah 1590. Orang-orang Karo diyakini sebelumnya telah banyak memeluk agama Islam akibat interaksi dengan para intelektual, saudagar dan pelaut Muslim yang singgah di pesisir Sumatera Utara dalam pelayaran mengarungi Selat Malaka. Baik itu di masa kejayaan Haru Wampu maupun Haru Delitua.

Oleh karena itulah, tidak salah mengatakan bahwa Islam telah dikenal di Tanah Karo sejak dua atau tiga abad sebelumnya, dan bisa saja juga diperkuat dengan akibat dari konstelasi politik di Aceh, khususnya di daerah antara sungai Samudera dan Pasai.

Menurut sejarah, antara tahun 1275-1286 M, merupakan tahun-tahun penting bagi daerah pesisir timur Sumatera Utara. Di tahun inilah Kesultanan Daya Pasai, sebuah kesultanan yang disinyalir dipengaruhi secara budaya oleh pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Mesir, memperluas daerah kekuasaannya dan mendirikan pemerintahan bawahan di Bandar Kalipah. Pemerintahan ini yang dikenal bernama Kesultanan Bandar Kalipah, disinyalir menjadi faktor utama dalam memperkenalkan Islam secara institusional kepada orang-orang Karo yang bermukim di wilayah tersebut. Secara geografis, penduduk Karo terdiri dari dua kelompok masyarakat; pegunungan dan pesisir.

Pemerintahan pertama dipegang oleh Muhammad al-Kamil dengan gelar Sultan Muhammad al-Kamil Perkasa Alam. Daerah kekuasaan kesultanan ini meliputi daerah-daerah antara Sungai Deli dan Sungai Asahan, yang kebanyakan merupakan orang-orang Karo. Konon, kepiawaian Muhammad al-Kamil, yang dikenal kemudian dengan nama Sultan Muhammadsyah, beserta permaisurinya Putri Ratna Hussin masih dikenang sampai sekarang.

Kesultanan Bandar Kalipah diyakini kemudian mengalami kegoncangan politik akibat perubahan-perubahan kekuatan di Selat Malaka dengan munculnya Majapahit di pihak lokal dan Mesir, Arab, Persia, India dan Cina di pihak asing.

Saat Kesultanan Daya Pasai berhasil dikuasasi oleh kekuatan baru yakni Kesultanan Samudera Pasai, Sultan Muhammad al-Kamil Perkasa Alam, Sultan Bandar Kalipah, segera mengambil sebuah kebijakan penting dengan menyatakan kemerdekaan negaranya dari dominasi kekuatan manapun, pada tahun 1286.

Pada saat itu pula, Kesultanan Samudera Pasai, yang didirikan oleh orang Batak yang masuk Islam bernama Merah Silu alias Malik al-Shaleh, mengklaim semua daerah bawahan Daya Pasai menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Akibatnya, perang antara kedua pasukan tidak terelakkan. Pasukan Samudera Pasai berhasil menguasai Bandar Kalipah dan Sultan Muhammad al-Kamil Perkasa Alam bersama permaisurinya dan pasukannya mengungsi ke Muar Malaya dan di sana mereka mendirikan kekuasaan baru yang bernama Kesultanan Muar Malaya. Di Semenanjung Malaysia ini, mereka berhasil membangun sebuah pemerintahan yang mapan, sekitar satu abad sebelum munculnya Kesultanan Malaka yang terkenal itu pada tahun 1383 M.

Pada masa pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai ini, orang-orang Karo semakin terlibat dalam pembangunan kebudayaan dan peradaban Islam, khususnya mazhab syafii, sesuai dengan mazhab yang dianut oleh kesultanan baru tersebut.

Setelah empat belas tahun, orang-orang Karo berada dalam pemerintahan Samudera Pasai, sekitar tahun 1300 M pasukan Kesultanan Dehli dari India, mencoba masuk ke Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah sekitar Sungai Deli sampai ke Delitua. Selama lima puluh, orang-orang India tersebut memimpin sebuah provinsi bawahan dari India bersama orang-orang Karo.

Pasukan dari India ini, setelah itu mengundurkan diri akibat perubahan pemerintahan di negaranya dari tangan Sultan Kilzi ke Sultan Taklak pada tahun 1350 M. Selama lima puluh tahun tersebut, persatuan budaya antara orang-orang Karo dengan India menghasilkan sebuah harmonitas dengan peninggalan-peninggalan sejarah, berupa kuburan dan makam, yang sampai sekarang masih terdapat di sekitar Sungai Deli, sebuah peninggalan yang dihormati oleh orang Melayu maupun Karo.

Sementara itu, orang-orang Karo di luar Delitua, khususnya di Kerajaan Haru Wampu, dan daerah lainnnya terpaksa mengalami krisis politik yang mendalam saat wilayah-wilayah tersebut dikuasasi oleh tentara Majapahit. Perang antara pasukan Majapahit dan Samudera Pasai tidak terelakkan pada tahun 1339 M. Puncaknya, pasukan Samudera Pasai dipimpim oleh Panglima Mula Setia memukul mundur pasukan Majapahit yang membuat pos di Tamiang. Tentara Majapahit kacau balau melarikan diri.

Paska krisis politik yang mencekam tersebut, pembangunan di Kesultanan Samudera Pasai berangsur pulih dan kemajuan peradaban dapat ditingkatkan. Di masa inilah diyakini banyak orang-orang Karo yang turun dari pegunungan mulai banyak mengenal Islam saat berinteraksi dengan masyarakat asing yang singgah. Salah satu ilmuwan yang singgah di Kesultanan Samudera Pasai adalah Ibn Batutah pada tahun 1345 M.

Banyak juga tokoh-tokoh yang dikenal pada zaman setelah itu (1451 M) di antaranya, Datuk Sahilan yang dikenang sebagai tokoh yang memperkenalkan Islam kepada orang-orang Batak di daerah-daerah Sungai Asahan sampai ke Simalungun, Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Sungai Karang dan Bangun Purba. Datuk Sahilan merupakan ulama Melayu yang memperkenalkan Islam ke pedalaman daeah Batak.

Orang-orang Karo semakin banyak yang berpendidikan dan semakin banyak pula yang terlibat sebagai elit-elit pada masyarakat, baik di bidang pendidikan, agama maupun politik. Puncaknya, pada tahun 1497 M, seorang Karo bernama Manang Sukka, yang menjadi panglima pada kesultanan kecil salah satu kesultanan yang akhirnya membentuk Kesultanan Aceh Darussalam, menjadi menantu sang Sultan.

Dia bersama tiga iparnya, para putera mahkota, memperluas Kesultanan baru tersebut sampai meliputi hampir semua wilayah Sumatera. Ketiga iparnya itu adalah Sultan Ali Mughayat Syah, Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah dan Laksamana Tuanku Ibrahimsyah.

Satu abad kemudian seorang ulama Karo yang sangat terkenal bernama Guru Patimpus, seorang alim dan sufi, dikenang dalam sejarah sebagai pendiri pertama Kota Medan pada tahun 1950 berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin.

Apabila Guru Patimpus merupakan tokoh kunci pembangun masyarakat Islam di kalangan orang-orang Karo di pesisir maka orang yang berperan penting dalam membantu orang-orang Karo di pegunungan atau Karo Dusun dalam memeluk agama Islam adalah putera Guru Patimpus sendiri yang bernama Raja Bagelit yang mempunyai kerajaan Islam bernama Kerajaan Sukapiring, sebuah kerajaan Islam yang diperintah oleh orang-orang Karo sendiri. Wilayah kekuasaannya meliputi area luar Medan sampai ke pegunungan Karo.

Menurut naskah Riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.

Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.

Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.

Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.

Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an

Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.

Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.

Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.

Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)

Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.

Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.

Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.

Sejarah Singkat Guru Patimpus adalah:

1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperluas kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »