Our Feeds
Internasional

Saturday, December 23, 2006

Tony

Marga dan Politik

 

Marga Sebagai Instrumen Politik



Dalam politik kenegaraan di berbagai kerajaan Barat merdeka, seperti Pemerintahan Sisingamangaraja, Kesultanan Barus dan lain sebagainya, posisi marga sebagai kelompok politik sangatlah penting. Tetua atau Raja Huta biasanya akan memainkan peran politiknya seperti halnya peran partai politik di negar-negara demokraso parlementer di beberapa kerajaan monarki pada zaman modern seperti halnya di Inggris.

Sebagaimana partai politik, perkumpulan marga mempunyai tanggung jawab politik dalam melangsungkan kesinambungan pemerintahan. Walaupun secara konstitusional Raja maupun Sultan tetap dijabat secara turun-temurun.

Hal itu dapat dikaji dari hubungan antara negara dengan marga dalam kasus Kesultanan Barus (Hilir) dalam mempertahankan kelangsungan politik mereka. Pihak tetua marga-marga sebagaimana partai politik mempunyai peran dalam pengumpulan opini untuk mendukung legalitas seorang sultan yang di pilih.

Dalam manuskrip Sejarah Raja-raja Barus, di dapat bagaimana sebenarnya hubungan antara Sultan dan kelompok marga alias partai di Kesultanan Barus (hilir).

Nukilan manuskrip tersebut (Dimulai dari hal 46) adalah sebagai berikut:

"maka tersebutlah perkataan Tuanku Raja Kecil bapak muda Sultan Larangan (Pasaribu) tinggal di Barus memerintah kerajaan. Syahdan, setelah beberapa lama dia memerintah, maka dengan takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala maka Sri Paduka pun berpulanglah ke rahmatullah meninggalkan seorang anaknya lelaki yang bernama Sultan Emas.

Maka dengan takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala Sultan Emas pun hendak diangkat oleh sekalian pejabat istana menjadi Raja. Maka diperintahkan oleh Raja Barus (hulu) [Dari Dinasti Pardosi/Pohan] kepada sekalian penghulu dan segala yang tua-tua dan hamba rakyat bahwa tidak jadi diangkat Sultan Emas jadi Raja menggantikan ayahnya di kerajaan tersebut.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala kiranya beperlakukan maksud Raja Dihulu tidaklah jadi Sultan Emas menjadi raja. Maka tinggalkan Sultan Emas dengan duka beserta dua penghulu pengawal pribadinya. Seorang bergelar Orang Kaya Sultan di Jambu seorang lagi bergelar Orang Kaya Raja Bendahara. Ketiganya berduka dengan fakta tersebut.

Syahdan maka tersebut perkataan Sultan Larangan (Pasaribu) pergi berjalan ke negeri Sorkam membawa duka percintaannya bersama neneknya perempuan bernama Puteri Palinu gelar Puteri Padang Nunang dan saudaranya perempuan bergelar Puteri Santan Bertapis yang kedua bergelar Puteri Palunggi Seratu serta dengan inang pengasuhnya serta dengan harta bendanya.
Syahdan Sultan Larangan pun sampai ke Negeri Sorkam disambut oleh Raja Muda dari Sebarang, karena Raja Muda itu saudaranya juga dari sebelah perempuan. Maka dengan takdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Sultan Laranganpun mengutus seorang utusan kepada raja-raja (huta) Batak mentampaikan khabar kehadirannya di Negeri Sorkam.

Maka utusan tersebut berangkat menuju ke negeri Batak Pasaribu yang empat sukunya (Opat Pusoran). Selama dianya menyuruh ke negeri Batak maka Sultan Larangan pu bersepakat dengan Raja Muda dan segala yang tua-tua dan segala hamba rakyat dalam negeri itu untuk mengangkat Sultan Larangan menjadi Raja di Sebarang. (Pembentukan pemerintahan in exile).

Maka seketika dia tinggal, Raja Batak Pasaribu Tobing pun datang menghadap Sultan Larangan dan segala penduduk Batak Naipospos pun yang empat suku datang bersama. Adapun nama daerah itu belum bernama hanya namanya Rantau Panjang seketika Raja-raja Batak yang semuanya sampai di situ maka diperjamu oranglah makan dan minum.

Setelah hasil yang demikian itu sekalian isi negeri itu pun dengan segala Raja-raja Batak mengangkat Sultan Larangan menjadi Raja dengan gelar Tuanku Bendahara yang akan memerintah di Negeri Sorkam dengan satu perjanjian (kesepakatan) dengan Batak.

Dan adapun tatkala mengangkat Sultan Larangan jadi Tuanku Bendahara maka sekalin orang bersuka ramai serta memanjang gelanggang tiga bulan. Adapun dalam tiga bulan itu yang berhenti bersuka-sukaan dalam kampung itu. Adapun tatkala masa itu membuat perjanjianlah Sultan Larangan dengan segala Raja-raja (huta) Batak Pasaribu dan Raja-raja Naipospos.

Adapun sebab maka satu perjanjian dengan Batak sebab negeri itu mahu diramaikan. (Pembangunan negara). Demikianlah perjanjiannya dengan raja Batak Pasaribu yang empat suku dan kepada Raja Batak Naipospos yang empat suku."

Kesimpulan

Bahwa posisi marga di Kerajaan-kerajaan Batak, selain sebagai sebuah tali ikatan keturunan juga sebagai ikatan politik seperti halnya dalam sebuah partai politik.

Partai Pasaribu dan Partai Naipospos (Situmeyang, Manungkalit, Hutauruk, Sinagabariang atau Sibagariang?) merupakan dua kelompok masyarakat yang menjadi rakyat mayoritas di Kerajaan tersebut. Sehingga posisi mereka sangat dibutuhkan dalam pembentukan konstitusi kerajaan beserta perundang-undangan yang akan dipatuhi bersama.

Berbeda dengan partai politik di era modern, nampaknya partai politik ala marga ini sifatnya lebih permanen karena jumlah anggotanya akan tetap seiring dengan tingkat natalitas setiap anggota fraksi marga tersebut.

Partai moderen anggotanya sangat dinamis dan bisa saja ditinggalkan anggotanya apabila partai yang bersangkutan dinilai sudah tidak dapat menampung aspirasi anggotanya.

Penampungan aspirasi rakyat di Kesultanan Barus dilakukan oleh Partai Marga yang kemudian akan dibawa ke parlemen yang berisi para bangsawan, pemimpin partai, perdana menteri dan meneteri-meneteri alias pejabat istana. Di sana akan diputuskan berbagai hal yang menyangkut aspisari tersebut sesuai dengan konstitusi negara seperti yang ditulis dalam manuskrip tersebut. Apabila dalam rapat pertama belum mendapat sebuah keputusan maka akan diharapka kehadiran Sultan dalam rapat parlemen tersebut.

By. Julkifli Marbun

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »